jump to navigation

Review Soal Cost May 4, 2009

Posted by ihdafaiz in Cost Accounting.
add a comment

Review soal akuntansi biaya. Klik di sini

Materi bab 5 kuliah dapat diambil disini

Sistem Akuntansi May 1, 2009

Posted by ihdafaiz in Sistem Akuntansi.
add a comment

Review soal-soal latihan. Klik disini

SEKALI LAGI, PENJAJAHAN ASING DI SEKTOR ENERGI* May 1, 2009

Posted by ihdafaiz in Uncategorized.
add a comment

SEKALI LAGI, PENJAJAHAN ASING DI SEKTOR ENERGI*

Menjelang akhir kepemimpinannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menawarkan pengelolaan Blok Natuna D-Alphe kepada Petronas, perusahaan migas asal Malaysia sebagai mitra Pertamina untuk mengelola blok tersebut. Tawaran presiden ini disampaikan saat dirinya melakukan pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak di Istana Merdeka, kamis (23/40. Menanggapi tawaran ini, Najib berterima kasih dan berkata “Saya berterima kasih atas tawaran Bapak Presiden supaya kawasan gas Natuna boleh diusahakan oleh pihak Petronas”. Tawaran ini merupakan salah satu hasil pembicaraan di bidang bioenergi, listrik, minyak dan gas dalam pertemuan tersebut. (Koran Jakarta, 24/04)

Bila kita selektif dan teliti mengamati perjalanan sepak terjang pemerintahan SBY selama 5 tahun ini, kita akan mendapatkan kenyataan bahwa di bawah komando SBY negara ini seolah tidak mempunyai stategi pengelolaan dan pemberdayaan sumber daya alam (terutama sektor energi) yang visioner dan mandiri. Meski dalam perjalanan kepemerintahannya, tim kabinetnya telah terjadi pergantian menteri perekonomian dengan pendamping arsitektur menteri keuangan, yang mendapat penghargaan sebagai menteri keuangan terbaik di Asia, namun tak ada track record SBY yang membanggakan di dalam urusan pengelolaan energi. Lihat saja betapa lemahnya daya tawar (bargaining position) negeri ini di depan korporasi dalam pengelolaan migas. Memang tidak semua ‘salah’ rezim ini karena kesepakatan Kontrak Karya (KK) dengan korporasi asing untuk eksplorasi tambang telah terjadi jauh sebelumnya, yaitu di bawah rezim Soeharto. Kontrak Karya sektor tambang rata-rata mempunyai umur yang cukup panjang, sekitar 25-40 tahun sehingga rezim saat ini hanyalah mendapat getah pahit keputusan rezim Soeharto.

Seharusnya pemerintah bersikap lebih tegas dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Bila memang kontrak dengan asing dirasa merugikan kepentingan bangsa maka pemerintah dapat melakukan negosiasi ulang terkait bagi hasil yang tidak berimbang, pajak yang terlalu kecil, tidak terjadi transfer teknologi, dll. Contoh kasus divestasi Newmont yang sampai sekarang masih meninggalkan polemik. Padahal nyata-nyata pihak Newmont telah mangkir dari kewajibannya untuk mengelola tambang di Nusa Tenggara Barat dan telah disebutkan dalam klausul kontrak bahwa pemerintah berhak untuk mengambil alih bila pihak Newmont tidak serius mengelola kawasan tersebut. Bila pemerintah tidak berani dan tidak tegas terhadap asing dalam pengelolaan dan eksplorasi energi bisa dipertanyakan sebetulnya negara ini milik siapa sih? Pemerintah yang mendapat mandat dari rakyat ataukah konglomerat dan asing yang punya dana melimpah?

Natuna Jadi Rebutan

Kasus Blok Natuna D-Alpha mencuat ketika banyak kritikan muncul dari pengamat ekonomi nasional yang mempertanyakan keuntungan konsesi pengelolaan kawasan tersebut kepada asing. Disebutkan bahwa pemerintah hanya mendapatkan 0% dari hasil eksplorasi tambang yang ada di kawasan tersebut. Padahal sejatinya pemilik kekayaan negeri ini adalah rakyat Indonesia yang seharusnya mendapatkan jatah hasil eksplorasi yang lebih besar. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Hal ini dimungkinkan karena pihak legislator (DPR) telah mengeluarkan UU Migas tahun 2001 yang memungkinkan pihak asing menguasai sebesar 99% dalam mengeksplorasi tambang di negeri ini. Pada faktanya, Hendri Saparini juga mengungkapkan fakta bahwa hampir 90% migas di Indonesia telah dikuasai asing

Perkembangan terakhir, menurut keterangan Hatta Radjasa, Menteri Sekretaris Negara, kerjasama pengelolaan blok Natuna ini mutlak diperlukan karena investasi yang dibutuhkan sangat besar. Dipilihnya Petronas bukan tanpa sebab, tapi setelah melakukan pengamatan dan studi yang cukup panjang. Pihak Petronas di masa PM Abdullah Badawi juga telah ‘melamar’ untuk dapat mengelola blok tersebut, namun karena dianggap terlalu dini maka Hatta mengungkap bahwa pihak Indonesia masih pikir-pikir dan melakukan study yang mencukupi agar kepentingan domestik lebih diutamakan. Selain Petronas, Hatta juga mengungkapkan bahwa telah banyak pihak yang telah mengajukan lamarannya ke presiden.

Pernyataan Hatta R di atas bertolak belakang dengan pernyataan yang diungkap oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro, seperti diberikan Koran Jakarta (24/03). Beliau menyatakan, “Petronas belum ketemu dengan kita, mungkin sudah ketemu yang lain”. Beda pula dengan pernyataan yang disampaikan oleh Wapres Jusuf Kalla pada Februari lalu di Belanda yang mengungkap justru Shell-lah yang berpeluang besar mengelola Blok Natuna. Jika ditelusur, perusahaan yang berpotensi menjadi rekanan Pertamina dalam mengelola Blok Natuna diantaranya adalah ExxonMobil, Shell, Chevron, Total, Statoil, Eni, CNPC dan Petronas. Permasalahannya adalah bukan sekedar siapa dari mereka yang bakal lulus beauty contest untuk mendampingi Pertamina mengelola Natuna. Melihat pengalaman lemahnya diplomasi dan masih melekatnya mental inlander di benak pemerintah negeri ini maka siapapun pemenang tender maka bisa dipastikan rakyatlah yang kalah. Biasanya asing mensyaratkan item yang menguntungkan mereka dan merugikan negeri ini. Siapapun pemenangnya, yang terjadi adalah privatisasi

Potensi dan Ironi Energi Indonesia

Dalam bidang pertambangan, Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai potensi tambang yang bagus. Khusus untuk tambang emas saja, secara geologis di berbagai wilayah di Indonesia memiliki potensi emas yang besar. Indonesia merupakan pertemuan deretan gunung berapi Sirkum Mediteran dengan Sirkum Pasifik. Pergeseran lempengan bumi yang terjadi di masa lampau akibat kegiatan vulkanis telah membentuk cebakan-cebakan emas.

Dengan bagusnya potensi tambangnya ditambah aturan-aturan yang menguntungkan, Indonesia mulai kedatangan investor asing untuk menanamkan modalnya, dimulai sejak tahun 1967. Perusahaan yang mengawalinya adalah PT Freeport Indonesia (FI). Pada Kontrak Karya generasi I (KK I), FI mendapat konsesi selama 30 tahun, boleh mengimpor semua peralatannya (tidak wajib menggunakan produksi dalam negeri) dan Pemerintah Indonesia hampir tidak mendapat kompensasi apapun.

Pada tahun 1988, secara tak terduga FI menemukan deposit emas yang sangat besar di Grasberg, kemudian mengajukan pembaharuan KK dan bisa diperpanjang dua kali 10 tahun. FI mendapat KK V bersama 6 perusahaan tambang lainnya. Berbeda dengan KK I, produk utama FI adalah emas, bukan hanya tembaga. Namun, menurut Econit, royalti yang diberikan FI ke Pemerintah tidak berubah, hanya 1-3,5%, sehingga penerimaan Pemerintah dari pajak, royalti dan deviden FI hanya US$ 479 juta. (SWA Sembada, 19 Juni-2 Juli 1997, “Emas dan Permainan Kotor,” No. 11, Tahun XIII) Jumlah itu tentu masih sangat jauh dibanding pendapatan yang mampu dihasilkan FI yaitu sekitar US$ 1,5 miliar (tahun 1996). Dari pendapatan itu 1% diambil untuk dana pengembangan masyarakat Irian yaitu sebesar US$ 15 juta.

Pada zaman Reformasi nasib PT Freeport Indonesia semakin bersinar. Pada tahun 2001, laba bersih yang dibukukan perusahaan ini mencapai US$ 304,2 juta. Pada tahun 2002 naik menjadi US$ 398,5 juta. Tahun berikutnya, 2003 laba bersihnya melonjak hingga US$ 484,9 juta. Yang mengherankan, dari laba bersih sebesar itu, sesungguhnya yang dibagikan sebagai deviden hanya 15%-nya saja. Padahal Pemerintah sampai saat ini hanya memiliki saham sebanyak 9,36%, sedangkan PT Freeport menguasai 90,64% (Kontan, 6 September 2004).

Dalam hal penguasaan pertambangan oleh pihak asing, menurut Tamagola (Kompas, 14 Februari 2005), telah terjadi pengaplingan atas daerah-daerah tambang di Indonesia. Kapling-kapling itu meliputi: Timika untuk Freeport, Lhok Seumawe untuk Exxon Mobil, Sulawesi Selatan untuk Mosanto, Buyat-Minahasa dan Sumbawa untuk Newmont International, Teluk Bintun di Papua untuk British Petrolium, Kaltim untuk PT Kaltim Prima Coal, dsb. Pengaplingan tersebut menunjukkan telah terjadi persekongkolan antara penguasa dan kekuatan modal asing. (Gatra, 24 Oktober 1998, “Ginandjar Disodok Kasus Freeport,” No. 49, Tahun IV)

Perlu diingat pula bahwa produksi minyak Indonesia bukan hanya milik Pemerintah Indonesia saja tetapi hasil minyak produksi Indonesia tersebut harus dibagi dengan Kontraktor perusahaan minyak asing (Production Sharing Contract(dikenal dengan istilah KPS)) yang beroperasi di Indonesia. Skema bagi hasil yaitu sebesar 85% Pemerintah Pusat dan 15% Kontraktor. Perlu diingat bahwa pembagian 85% da 15% bukanlah hasil produksi kotor, tapi merupakan hasil produksi minyak bersih artinya nilai produksi dikurangi dengan biaya ekploitasi, pajak, land-rent, royalti,dll. Sehingga bagi hasil minyak mentah antara pemerintah dan KPS bisa menjadi 60% dan 40% seperti yang ditulis Kwik Kian Gie berikut: “Berdasarkan perhitungan dapat dijelaskan bahwa produksi minyak mentah sebanyak 1.125.000 barel per-hari yang dibagi menjadi Bagian Pemerintah dan Pertamina sebanyak 663.500 barel atau 58,98% dan Bagian Kontraktor Production Sharing (KPS) sebesar 461.500 barrel atau 41,02%. Yang dipahami oleh rakyat adalah bagian Indonesia 85% dan bagian kontraktor asing 15%. Bagaimana dapat dijelaskan pembagian yang demikian signifikan perbedaannya?”.

Korporasi asing telah nyata-nyata menjajah negeri ini. Dalam laporan pendapatannya untuk tahun 2007, pihak ExxonMobil memperoleh keuntungan sebesar $40.6 Billion atau setara dengan Rp3.723.020.000.000.000 (dengan kurs rupiah 9.170). Nilai penjualan ExxonMobil mencapai $404 billion, melebihi Gross Domestic Product (GDP) dari 120 negara di dunia. Setiap detiknya, ExxonMobil berpendapatan Rp 11.801.790, sedangkan perusahaan minyak AS lainnya, Chevron, melaporkan keuntungan yang diperolehnya selama tahun 2007 mencapai $18, 7 billion atau Rp171.479.000.000.000. Royal Ducth Shell menyebutkan nilai profit yang mereka dapatkan selama setahun mencapai $31 milyar atau setara dengan Rp 284.270.000.000.000.

Keuntungan yang diperoleh korporasi-korporasi Negara imperialis ini tidaklah setara dengan Produk Domestic Bruto (PDB) beberapa Negara dunia ketiga, tempat korporasi tersebut menghisap. Hingga akhir tahun 2007, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia belum sanggup menembus Rp4.000 Trilyun, untuk triwulan ke III tahun 2007 saja hanya mencapai Rp 2.901. trilyun. Untuk Negara penghasil minyak lainnya, Libya hanya 50.320 juta US$, Angola (44, 033 juta US$), Qatar (42, 463US$), Bolivia (11.163 juta US$), dan lain-lain.

Konfigurasi ini memperlihatkan pengalihan keuntungan eksplorasi tambang, baik migas maupun non-migas, di Negara-negara penghasil justru dinikmati oleh grup-grup korporasi dan Negara induknya. Di Indonesia, menurut laporan Energy information Administration (EIA) dalam laporannya (jan/08) mengatakan bahwa total produksi minyak Indonesia rata-rata 1, 1 juta barel per-hari, dengan 81% (atau 894.000 barel) adalah minyak mentah (crude oil). Untuk produksi gas alam, Indonesia sanggup memproduksi 97.8 juta kubik. Indonesia masuk dalam daftar ke 9 penghasil gas alam di dunia, dan merupakan urutan pertama di kawasan Asia Pasifik.

Sayangnya, hampir 90% dari total produksi tersebut berasal dari 6 MNC, yakni; Total (diperkirakan market share-nya di tahun 2004, 30%), ExxonMobil (17%), Vico (BP-Eni joint venture, 11%), ConocoPhillips (11%), BP (6%), and Chevron (4%). Sedang, stok gas bumi mencapai 187 triliun kaki kubik atau akan habis dalam waktu 68 tahun dengan tingkat produksi per tahun sebesar 2, 77 triliun kaki kubik. Cadangan batu bara ada sekitar 18, 7 miliar ton lagi atau dengan tingkat produksi 170 juta ton per tahun berarti cukup buat memenuhi kebutuhan selama 110 tahun. (Sumber: Kementerian ESDM).

Bandingkan dengan kebutuhan untuk pendidikan! Berdasarkan kajian Balai Penelitian dan Pengembangan Depdiknas, biaya ideal seorang siswa SD per tahun adalah Rp 1, 68 juta. Data Depdiknas menunjukkan, siswa setingkat SD se-Indonesia sekitar 25, 5 juta. Jadi untuk menggratiskan pendidikan di SD (minus infrastruktur) adalah 42.8 trilyun. Berdasarkan data Balitbang 2003 mengenai kondisi bangunan SD seluruh Indonesia, 32, 2 persen rusak ringan, rusak berat ada 25 persen. SLTP yang rusak ringan 19, 9 persen, rusak berat 7, 4 persen. Padahal, untuk memperbaiki sebuah gedung sekolah hanya membutuhkan dana paling banyak Rp100 juta, nilai ini sangat kecil jika dibandingkan dengan share profit di sector pertambangan yang menguap keluar.

Solusi Islam

Syariat Islam telah mengatur masalah kepemilikan ini dalam tiga aspek: kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Adanya kepemilikan individu ini menjadikan seseorang termotivasi untuk berusaha mencari harta guna mencukupi kebutuhannya. Aset yang tergolong kepemilikan umum tidak boleh dimiliki sama sekali oleh individu, atau dimonopoli oleh sekelompok orang. Dalam praktiknya, kepemilikan umum ini dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk harga yang murah atau bahkan gratis.

Adanya kepemilikan negara dalam Islam jelas menjadikan negara memiliki sumber-sumber pemasukan dan aset-aset yang cukup banyak. Dengan begitu, negara akan mampu menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pengatur urusan rakyat, termasuk memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan masyarakat miskin. Sementara itu, pengelolaan kepemilikan mencakup pengembangan dan penyaluran harta. Dengan adanya pengaturan pengelolaan kepemilikan, harta akan beredar di masyarakat, perekonomian menjadi berkembang, dan kemiskinan bisa diatasi.

Al-Islam edisi 260 menjelaskan secara gamblang tentang hukum privatisasi menurut islam. Dalam pandangan Islam, air, hutan, barang tambang, dan sumberdaya alam lain yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah milik umum. Kepemilikan umum ini harus dikelola hanya oleh negara, yang hasilnya harus diberikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer, seperti pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum.

Pengelolaan sumberdaya alam milik umum yang berbasis swasta (corporate based management) yang terjadi selama ini harus diubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara (state based management), dengan tetap berorientasi pada kelestarian sumber daya (sustainable resources principle). Prinsip ini di antaranya dikemukakan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, berdasarkan hadis riwayat Imam at-Tirmidzi dari Abyadh bin Hanbal.

Dalam hadis tersebut, Abyadh diceritakan telah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul saw. meluluskan permintaan itu, tetapi segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir.”

Rasulullah saw. kemudian bersabda, “Tariklah kembali tambang tersebut darinya.” (HR at-Tirmidzi).

Dalam hadis di atas, air mengalir (mâ’ al-‘iddu), disebut demikian karena jumlahnya yang sangat banyak; seolah-olah seperti air yang mengalir terus-menerus. Dari riwayat tersebut dapat dipahami, bahwa semula Rasullah saw. memberi Abyadh tambang garam karena dikira sedikit jumlahnya. Ini menunjukkan bahwa penguasa boleh memberikan tambang garam atau tambang-tambang lainnya dalam jumlah sedikit kepada individu. Akan tetapi, ketika kemudian Rasul saw. mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar (digambarkan bagaikan air yang terus mengalir), maka Rasul saw. segera menarik kembali pemberian itu, karena dengan kandungannya yang sangat besar itu tambang tersebut dikategorikan milik umum; semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu.

Yang menjadi fokus dalam hadis tersebut tentu saja bukan garam, melainkan ‘tambang’-nya. Artinya, larangan untuk menguasai tambang dalam jumlah yang banyak tidak hanya berlaku pada tambang garam, tetapi berlaku pada semua tambang yang memang menguasai hajat hidup orang banyak. An-Nabhani, mengutip ungkapan Abu Ubaid, mengatakan:

Pemberian Nabi saw. kepada Abyadh bin Hanbal atas tambang garam yang terdapat di daerah Ma’rab, kemudian beliau mengambilnya kembali dari tangan Abyadh, sesungguhnya semata-mata karena menurut beliau tambang tersebut merupakan tanah mati yang dihidupkan oleh Abyadh lalu dia mengelolanya. Ketika Nabi saw. mengetahui bahwa tambang tersebut laksana air yang mengalir—sementara air tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis, seperti mataair dan air bor—maka beliau mencabutnya kembali. Sebab, sunnah Rasulullah saw. dalam masalah padang, api, dan air menyatakan bahwa semua manusia berserikat dalam masalah tersebut. Karena itu, beliau melarang seseorang untuk memilikinya, karena dapat menyebabkan yang lain tidak dapat memilikinya.

Penarikan kembali pemberian Rasul saw. kepada Abyadh adalah ‘illat/sabab at-tasyrî‘ (sebab legal) bagi larangan/keharaman atas individu/swasta manapun untuk memiliki dan menguasai sesuatu yang menjadi milik umum, termasuk dalam hal ini barang tambang yang kandungannya sangat banyak atau menguasai hajat hidup orang banyak.

Walhasil, privatisasi atas sektor-sektor publik, dengan alasan apapun, adalah bertentangan dengan hukum Islam, dan jelas hukumnya haram.

* Ihda Arifin Faiz (diolah dari berbagai sumber)

Review soal latihan ALK April 30, 2009

Posted by ihdafaiz in Analisis Laporan Keuangan.
add a comment

Berikut merupakan soal-soal latihan mata kuliah analisis laporan keuangan yang telah dikerjakan semenjak kuliah pertama hingga pertemuan ke 6. Lihat disini

Kelas Sistem Akuntansi April 20, 2009

Posted by ihdafaiz in Sistem Akuntansi.
add a comment

Tugas berikut ditujukan kepada mahasiswa BSI Kramat 18 mata kuliah Sistem Akuntansi dengan IAF sebagai staf pengajarnya. Penugasan ini wajib dikerjakan tiap mahasiswa secara perorangan dan dikumpulkan pada pertemuan mendatang. Silakan klik di sini

Process Costing 2 and Case April 19, 2009

Posted by ihdafaiz in Cost Accounting.
add a comment

Ringkasan perkuliahan Cost Accounting dengan kasus barang yang hilang di awal atau akhir proses manufaktur serta tugas rumah yang harus dikerjakan oleh tiap mahasiswa BSI Fatmawati dapat diambil di sini

LTM Analisis Lap Keu April 19, 2009

Posted by ihdafaiz in Analisis Laporan Keuangan.
add a comment

Berikut merupakan Lembar Tugas Mahasiswa (LTM) mata kuliah Analisis Laporan Keuangan/ALK. LTM ALK dapat didownload di link berikut (klik). Seperti telah dijelaskan oleh pihak lembaga, LTM merupakan tugas wajib yang harus dikerjakan oleh tiap mahasiswa yang mengambil mata kuliah bersangkutan untuk selanjutnya akan dimasukkan sebagai komponen penilaian kuliah dalam semester tersebut. LTM ini telah dipersiapkan oleh pihak lembaga (BSI) dan menjadi standar pencapaian kepemahaman (understandibility) siswa dalam menerima materi perkualihan.

LTM Akt Biaya April 19, 2009

Posted by ihdafaiz in Cost Accounting.
add a comment

Bagi Mahasiswa BSI Fatmawati kelas Cost Accounting dengan dosen pengampu IAF yang kesulitan mendapatkan Lembar Tugas Mahasiswa (LTM) dapat mendownload link berikut. Seperti telah dijelaskan oleh pihak lembaga, LTM merupakan tugas wajib yang harus dikerjakan oleh tiap mahasiswa yang mengambil mata kuliah bersangkutan untuk selanjutnya akan dimasukkan sebagai komponen penilaian kuliah dalam semester tersebut. LTM ini telah dipersiapkan oleh pihak lembaga (BSI) dan menjadi standar pencapaian kepemahaman (understandibility) siswa dalam menerima materi perkualihan.

Adapun tugas yang saya berikan untuk dikerjakan di rumah merupakan bentuk latihan tambahan yang berfungsi sebagai pengayak  (pendalaman) materi dan bersifat tugas individu. Tugas tersebut juga merupakan understandibility controlling terhadap materi yang telah disampaikan di kelas. Dikumpulkan pada pertemuan berikutnya dan juga merupakan komponen penilaian

Cost Accounting April 7, 2009

Posted by ihdafaiz in Cost Accounting.
add a comment

Untuk ringkasan materi dan soal yang harus dikerjakan bagi mahasiswa BSI perkuliahan akuntansi biaya, Silahkan lihat di sini